Wanita Racun Duniaaaaa…
Kasian banget wanita, masa’ dibilang racun dunia sama The Changchuters. Artinya kalo deket-deket wanita bisa kejang-kejang dong, ehek…ehekk… Tapi kalo Tria dkk. baru bilang wanita itu racun dunia itu mah belom seberapa. Beberapa abad yang lalu, para cewek harus rela disebut titisan iblis, atau setengah manusia, oh my God, tega nian.
Pada jaman Romawi kuno misalnya, pernah diadakan sebuah rapat yang dihadiri oleh cendekiawan, pemuka agama, dan pembesar kekaisaran untuk membahas status perempuan, manusia apa bukan sih sebenernya? Owalaa sampe segitunyaaa… Kata orang Yunani kuno, perempuan adalah sumber kemalangan. Seperti yang diungkapkan oleh Hippolytus, “Wahai Zeus, apakah engkau kemasukan setan ketika menimpakan kemalangan kepada kami dengan mendatangkan perempuan di tengah-tengah kaum lelaki? Apabila engkau benar-benar hendak menyebarluaskan ras manusia, mengapa pula engkau menciptakan kaum perempuan??” Membelah diri aja kaya amuba, hehe.
Di dalam ajaran Yahudi ortodoks pun diajarkan bahwa perempuan itu derajatnya rendah. Di dalam kitab Talmud disebutkan, “Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian berbahagialah orang-orang yang memiliki anak laki-laki dan celakalah orang-orang yang memiliki anak perempuan.”
Di dalam agama Hindu, perempuan harus memperlakukan suaminya sebagai dewa (tuhan). Karena suaminya adalah inkarnasi (penjelmaan) dari hukum tertinggi, sekaligus sebagai ketetapan dan sekumpulan kewajiban agama bagi istrinya. Seorang perempuan yang salehah –dalam agama Hindu- adalah perempuan yang meninggal lebih dulu dari pada suaminya (lha?). Kalo ternyata suaminya meninggal duluan, perempuan itu harus menyusul suaminya, dia harus bunuh diri pada saat jenazah suaminya dibakar (biasanya turut dibakar hidup-hidup bersama jenazah suaminya). Ritual yang mengerikan ini disebut satee (bukan sate, itu mah enak), yang sampe sekarang masih dilaksanakan oleh orang-orang Hindu fanatik, walaupun pemerintah India sudah turun tangan untuk menghentikan ritual ini.
Kata Prof. Will Durant, “Di Roma, proses kelahiran adalah sesuatu yang mendebarkan. Jika anak yang dilahirkan cacat, atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.” Di jaman Arab jahiliyah udah jadi kebiasaan umum untuk mengubur anak perempuan hidup-hidup. Kalo seorang laki-laki meninggal, istrinya bisa diwariskan kepada anak laki-lakinya. Kacau banggetzzz…
Dalam peradaban Zoroastrianisme, perempuan harus bersumpah untuk tunduk secara total kepada suaminya. Seorang suami juga dapat meminjamkan istrinya untuk bayaran tertentu. Jika seorang perempuan nggak bisa melahirkan anak alias mandul, maka the penalty is death. Alamak.
Di jaman penjajahan Belanda, nasib perempuan nggak kalah apesnya. Gadis-gadis pribumi yang tampangnya rada lumayan biasanya diculik secara paksa (diculik ya maksa laaa) atau tanpa sepengetahuan orang tuanya, trus diperiksa giginya, badannya, pokoknya semuanya. Kalo dirasa bersih, mereka akan langsung didandanin dan diajarin tata krama Belanda lantas dijadiin gundik meneer-meneer Belanda. Nah gundik-gundik Belanda asal pribumi ini biasa disebut nyai (cerita tentang perjalanan hidup seorang nyai bisa kalian baca di sebuah novel lama karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia). Bukan cuman dijadiin gundik, perempuan pada jaman itu pun hampir mustahil mendapatkan pendidikan layak. Hal ini yang bener-bener jadi fokus perhatian ibu kita Kartini. Di dalam surat-surat beliau kepada sahabatnya terungkap bahwa beliau memprotes adat Jawa masa itu yang mengekang dan memarjinalkan perempuan dari memperoleh hak pendidikan.
Perjuangan Perempuan
Karena nasib perempuan yang memprihatinkan dari jaman ke jaman itulah banyak kalangan yang memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di segala bidang kehidupan. Istilah kerennya mah ‘emansisapi’, halah maksudnya ‘emansipasi’ gitu lokh. Pada perkembangan selanjutnya perjuangan kaum perempuan untuk menuntut hak-haknya itu mengerucut dalam apa yang disebut gerakan Feminisme.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum, kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam segala bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (must cool in [maksudnya maskulin], jadi inget sama tulisan Mbak Kana di edisi kemaren, hehe), khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Apalagi dalam masyarakat yang berorientasi tradisional agraris, cenderung menempatkan kaum lelaki di depan, di luar rumah, dan kaum perempuan di belakang, di dalam rumah.
Kata “Feminisme”, pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berkembang di Eropa ini kemudian menyebar ke Amerika dengan pesat setelah publikasi tulisan John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Simone de Beauvoir menulis, “Pertama kali kita melihat perempuan yang mengangkat pena untuk membela kaumnya adalah Christine de Pizane yang berjudul Epitre au Dieu d’Amour (Epistle to The God of Love) pada abad ke-15.” Heinrich Cornellius Agrippa dan Modesta Di Pozzo Di Forzi bekerja untuk pembebasan perempuan pada abad ke-16. Marie le Jars de Gournay, Anne Bradstreet, dan Francois Poullain de la Barre menulis pada abad ke-17. Mary Wollstonecraft menulis pada abad ke-18.
Para cendekiawan feminis membagi sejarah pergerakan perempuan ke dalam 3 gelombang. Gelombang pertama ditandai dengan munculnya gerakan penderitaan perempuan pada abad ke-19 dan awal abad ke20 (utamanya menitikberatkan pada hak perempuan untuk memilih dalam pemilu). Gelombang kedua ditandai dengan munculnya ide dan aksi pembebasan perempuan yang dimulai pada awal tahun 1960an (yang mengkampanyekan hak legal dan sosial bagi perempuan). Gelombang ketiga ditujukan kepada kelanjutan dan reaksi dari kegagalan-kegagalan yang muncul pada gelombang kedua, dimulai pada tahun 1990an.
Karena gerakan-gerakan feminisme global itulah kita bisa liat sekarang perempuan punya derajat yang setara dengan laki-laki dan bisa berkiprah di segala bidang seperti laki-laki. Eit tapi tunggu dulu, apakah gerangan yang terjadi??
Sayang seribu kali sayang, ternyata gerakan feminisme malah kebablasan. Feminisme malah menginginkan perempuan ‘setara’ dengan laki-laki dalam ‘segala’ hal. Hah segala Hal? Iya segala hal! Maksud loookhh (monyong dikit)? Woits sabar, cooling down. Nih diceritain.
Di Austria seorang cewek ABG usia 14 tahun bisa gonta-ganti pacar sehari 3 kali (kaya minum obat ajiah). Waktu ditanya kenapa doi ngelakuin itu, alesannya karena doi pengen ngebuktiin bahwa doi juga bisa kaya anak cowok yang bisa maenin cewek. Kalo di dunia ini ada playboy, maka playgirl pun wajib ada (jangan ketuker sama playgorup). Halah kacau. Di belahan bumi yang lain, seorang wanita menuntut persamaan toilet, karena kata dia perempuan juga bisa (ups maaf) pipis sambil berdiri kaya laki-laki. Pernah ada juga kabar tentang gerakan pembakaran bra. Kata mereka, kalo cowok boleh topless, kenapa cewek (ups maaf lagi) harus pake bra?? Gedubrax suit duarrr. Kok ya bisa kepikiran yang kaya’ gitu, neng??
GO TO HELL, FEMINISM
Ide-ide feminisme adalah ide-ide yang kudu total ditolak. Apa-apaan kaya gitu, ntar bisa-bisa yang hamil kudu gantian, yang ngelahirin plus nyusuin juga kudu gantian. Ntar yang tadinya ASI (Air Susu Ibu) ganti jadi ASA (Air Susu Ayah)! Tu Feminis pada mikir pake dengkul kali, bukan pake otak. Kenyataannya semakin kaum perempuan berhasil menjalankan standar-standar feminisme itu mereka nggak semakin bahagia. General Social Survey (sebuah lembaga survei di Amerika) pernah melakukan penelitian tentang hal ini. Mereka meneliti bagaimana mood masyarakat Amerika mulai dari tahun 1972 sampai sekarang. Dan hasilnya, kaum perempuan Amerika yang notabene menganut ide feminisme, kehidupannya lebih suram dibandingkan kaum lelaki (Sahar el Nadi, The Other Side of Feminism). Nah lho. Sebenernya nggak heran juga kenapa gerakan feminisme bisa muncul itu karena diterapkannya ideologi kapitalisme-sekular (kapsek) di tengah-tengah kehidupan kita. Kapsek itu emang biang keroknya penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Islam nggak butuh feminisme, karena di dalam peradaban Islam nggak pernah ada yang namanya diskriminasi terhadap perempuan. Kalo sekarang-sekarang ini Islam sering dituduh mendiskriminasi perempuan karena adanya kewajiban jilbab, ketaatan pada suami, poligami, dll., itu mah karena Islam dinilai dengan sudut pandang kapsek. Ya jelas aja nggak bakalan nyambung.
Allah Swt. menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan itu derajatnya sama aja. Orang yang mulia di hadapan Allah ditentukan dari seberapa takwanya dia, bukan diliat dari laki-laki atau perempuan. Nah adanya pembedaan hak dan kewajiban disebabkan karena emang mereka itu makhluk yang berbeda, dan punya fungsi yang berbeda pula di tubuh umat ini. Laki-laki dengan berbagai keunggulannya berfungsi untuk memimpin, bekerja keras, dan aktif di sektor publik (luar rumah). Perempuan dengan berbagai keunggulannya berfungsi untuk dipimpin, mendidik, mengatur, dan aktif di sektor privat (dalam rumah). Dengan pembagian peran yang apik seperti ini kahidupan akan serasi dan saling mendukung, bukan timpang dan saling mengalahkan seperti di dalam peradaban kapsek. Makanya kalo mau menyelamatkan perempuan, ayo perjuangkan penerapan Islam. Mereka yang memperjuangkan penerapan Islam berarti pecinta wanita, ups becanda…![Sayf]